Jumat, 11 Maret 2011

Gichin Funakoshi

(1868 – 1957)
Maestro Karate (Bapak Karate Modern)
Jika ada seseorang yang sangat berjasa dalam perkembangan dan posisi Karate yang telah menjadi kampiun seni beladiri di Jepang, dia adalah Ghichin Funakoshi. Maestro yang lahir di Shuri, Okinawa dan tidak pernah mendapat pengakuan resmi terhadap kemampuannya dalam beladiri hingga umur 53 tahun.
Sejarah Gichin Funakoshi tidak bisa dipisahkan dengan sejarah keagungan Karate. Dimulai sebagai seorang anak yang lemah, pesakitan dan memiliki kesehatan yang kurang baik, orang tua Gichin Funakoshi membawanya kepada maestro beladiri pada saat itu yaitu Yasutsune Itosu untuk mengajarinya Karate bersama Yasutsune Azato (Yasutsune Azato memberikan banyak pelajaran kepada Gichin Funakoshi untuk membangun pikiran disiplin dan tehnik Karate). Dengan dibantu oleh seorang dokter, Tokashiki, yang memberikan ramuan-ramuan alami untuk menguatkan fisiknya, dan latihan yang diberikan oleh Yasutsune Azato dan Yasutsune Itosu, Gichin Funakoshi tumbuh menjadi orang yang kuat dan gagah. Dia menjadi murid yang menonjol ketika menjadi murid Arakaki dan Sokon “Bushi” Matsumura. Dia menguasai dan mencapai taraf yang tinggi dalam kedisiplinan. Maestro Gichin Funakoshi selalu menceritakan disetiap kesempatan sejarah hidupnya pada bagian ini. Ketika dia hidup bersama kakek-neneknya, dia mulai memasuki sekolah wajib dimana dia sekelas dengan anak guru Yasutsune Azato dan menerima intruksi Karate pertama dari Yatsusune (Ankoh) Azato.
Ketika pada akhirnya Gichin Funakoshi datang ke Jepang dari Okinawa, tahun 1922, dia tinggal bersama orang-orang sekampung halaman di sebuah asrama mahasiswa di Suidobata, Tokyo. Dia tinggal di dalam kamar yang kecil dekat pintu dan dia akan membersihkan asrama ketika para mahasiswa  pergi kuliah. Dia juga bekerja sebagai tukang kebun, dan pada malam hari Gichin Funakoshi mengajar Karate kepada para mahasiswa.
Dalam jangka waktu yang tidak begitu lama, ia mendirikan sekolah Karate pertamanya di Meishojuku. Setelah itu dia mendrikan sekolah Karate di Mejiro, dan akhirnya dia memiliki tempat untuk menghasilkan murid generasi penerus Karate, seperti, Takagi dan Nakayama dari Nippon Karate Kyokai, Yoshida dari Takudai, Obata dari Keio, Shigeru Egami dari Waseda (pembawa sukses dalam perkembangan Karate), Hironishi dari Chuo, Noguchi dari Waseda dan Hirori Ohtsuka (Otsuka).
Pada saat melakukan perjalanan keliling Jepang untuk mengenalkan dan mengajar Karate, Gichin Funakoshi selalu mengajak Takeshi Shimoda, Yoshitaka (anaknya), Egami dan Ohtsuka untuk menyertainya. Murid utamanya adalah Takeshi Shimoda dan Yoshitaka Funakoshi.
Shimoda merupakan lulusan Nen-ryu Kendo School, dia juga berlatih Ninjutsu, tetapi dia sangat tidak beruntung, Dia sakit dan meninggal pada saat masih muda , tahun 1934, setelah melakukan sebuah perjalanan pertunjukan Karate. Dia digantikan oleh Gigo (Yoshitaka) Funakoshi, yang memiliki karakter yang sangat baik dan tehnik Karate yang sangat tinggi. Shigeru Egami berpendapat bahwa tidak ada orang yang lebih baik untuk menggantikannya. Dikarenakan jiwa muda dan metode latihan yang keras (bahkan dapat dikatakan sebagai latihan yang kuat dan brutal), membuat terjadinya konflik dengan golongan tua. Othsuka Hironori, yang mengatakan tidak dapat menerima latihan yang sangat keras. Akhirnya Otsuka keluar dan mendirikan sekolah Karate sesuai dengan gayanya sendiri, yang diberi nama Wado-Ryu (Jalan Keharmonisan), dan secara nyata nama itu menyindir Yoshitaka Funakoshi. Dalam jangka panjang metode latihan Yoshitaka Funakoshi adalah sangat penting bagi masa depan Karate-do. Tetapi, sekali lagi, dia meninggal dalam usia muda, tahun 1945, ketika berumur 39 tahun,  penyakit TBC (Tuberculosis) menghantarkan dia pada kematian.
Pada awal abad ke-20, ketika momentum ultra-nasionalis melanda Jepang, perkembangan seni beladiri di Jepang mengalami kemunduran, orang yang berlatih beladiri dianggap sebagai penyembah berhala (pagan) dan seni kebrutalan (savage art). Gichin Funakoshi mencoba mengatasi prasangka tersebut, dan akhinya berhasil mendapatkan pengakuan bahwa Karate merupakan salah satu seni beladiri Jepang tahun 1941.
Setelah itu banyak pekumpulan Karate berdiri di Jepang. Pada tahun 1942, Karate diperkenalkan di Universitas Keio sebagai klub Karate pertama, yang lainya termasuk Chuo, Waseda (1930), Hosei, Universitas Tokyo (1929). Klub yang lain didirikan di Shichi-Tokudo, di lingkungan tangsi militer di sudut halaman Istana.
Gichin Funakoshi mengunjungi Shichin-Tokudo setiap beberapa hari sekali untuk mengajar, ketika Otsuka mengajar di Shichin-Tokudo, seorang murid, Kogura, dari Universitas Keio yang menyandang Dan III (Sandan) Kendo (Seni melidungi diri Jepang/Japanese Fenching) dan juga penyandang sabuk hitam Karate, mengambil pedang dan berhadapan dengan Otsuka. Semua murid melihatnya dan menunggu apa yang akan terjadi. Mereka menyangka dengan kemahirannya dalam kendo, tidak seorang pun yang dapat menghadapinya dengan pedang terbuka (The Shinken). Otsuka terlihat tenang melihat Kogura dan pada saat Kogura menggerakkan pedangnya, Otsuka menyapu kakinya dan Kogura jatuh terjerembab. Kejadian ini tidak banyak diceritakan, dan  hal ini membuktikan  keahlian Otsuka.  Kejadian itu juga membuang kejemuan terhadap filosofi Gichin Funakoshi bahwa latihan kata/jurus lebih dari sekedar cukup waktu yang dibutuhkan dan juga sangat penting untuk menujukkan kemampuan besar Gichin Funakoshi sebagai guru dan Karateka.
Pada tahun 1922, tiga muridnya, Miki, Bo dan Hirayama berpendapat bahwa berlatih kata saja tidak cukup. Mereka mulai mengenalkan pertarungan bebas (Jiyu Kumite). Mereka membuat pelindung badan dan menggunakan pelindung kepala kendo di dalam  pertandingan. Gichin Funakoshi mendengar tentang penyimpangan ini, dan tidak menghalangi usaha yang dia anggap telah mengurangi arti seni beladiri Karate. Gichin Funakoshi menghentikan kunjungannya ke Shichin-Tokudo. Baik Gichin Funakoshi dan Otsuka tidak pernah terlihat lagi. Setelah kejadian tersebut Gichin Funakoshi melarang  adanya pertandingan Karate. (Tidak pernah ada pertandingan Karate hingga setelah ia meninggal tahun 1958).
Ketika Gichin Funakoshi datang ke Jepang, ia membawa 16 kata, yaitu 5 Pinan (Heian), 3 Naihanchi (Tekki), Kushanku Dai (Kanku Dai), Kushanku Sho (Kanku Sho), Seisan (Hangetsu), Patsai (Bassai Dai), Wanshu (Empi/Enpi), Chinto (Gankaku), Jutte (Jitte) dan Jion. Dia memberikan muridnya kata dasar sebelum mereka menunjukkan kemajuan yang berarti untuk meningkat ke tingkat lanjutan. Pada saat itu tidak kurang dari 40 kata masuk dalam kurikulum, kemudian dimasukkan dalam edisi terbatas “ Karate-do for Specialist” yang merupakan karya monumental dari Shigeru Egami.
Jigoro Kano, penemu seni beladiri Judo moderen, sekali waktu mengundang Gichin Funakoshi dan temannya, Makoto Gima, untuk melakukan pertunjukan seni beladiri di Kodokan (Tomisaka). Kira-kira ribuan orang menyaksikan pertunjukan tersebut. Gima yang belajar setelah Yabu Kenstu adalah pemuda dari Okinawa, memainkan kata Naihanshi Shodan, dan Gichin Funakoshi memainkan Kata Koshokun (Kushanku Dai).
Sensei Kano menyaksikan pertujukan tersebut dan menanyakan tentang tehnik yang terkandung didalamnya. Dia merasa sangat kagum. Dia mengundang Gichin Funakoshi dan Gima untuk menghadiri upacara tendon (makan malam dengan nasi dan ikan fish and rice dinner), mereka menyanyi dan berkelakar untuk menyenangkan Gichin Funakoshi.
Didalam ketulusannya mengajarkan seni beladiri Karate yang baik dan benar, Gichin Funakoshi bukan tanpa hujatan. Kritik menghina menyangkut ketegasannya dalam aturan mempelajari kata, dan mempelajari  apa yang mereka sebut “lembut” Karate merupakan hal yang menyia-nyiakan waktu. Gichn Funakoshi tegas terhadap aturan Hito Kata Sanen (tiga tahun satu kata).
Gichin Funakoshi adalah orang yang rendah hati. Dia mengajari dan mempratekkan apa yang dia katakan dengan kerendahan hati. Dia tidak memberikan nasehat tentang kebajikan dan kerendahan hati, tetapi pada dasarnya kerendahan hati seseorang adalah bersumber pada pandangan yang benar terhadap sesuatu dan hidup penuh dengan kesadaran. Dia hidup dengan damai dengan dirinya dan orang disekelilingnya.
Kapanpun nama Gichin Funakoshi disebutkan, akan mengingatkan kita pada perumpamaan “A Man of Tao (Do)” dan “A Little Man”. Dikatakan bahwa seorang murid bertanya “Apa bedanya antara : A Man of Tao dengan A Little Man” Guru menjelaskan ,”sederhana sekali, ketika a little man menerima “DAN” (kelulusan atau rangking), dia tidak akan sabar menunggu untuk pulang kerumah dan naik keatas kemudian mengatakan kepada semua orang bahwa dia telah mendapatkan “DAN” pertamanya. Ketika menerima “DAN” keduanya, dia akan naik hingga ke ujung tiang dan mengumumkannya kepada semua orang. Ketika menerima “DAN” ketiganya, dia melompat di atas mobilnya dan berparade keliling kota sambil membunyikan klakson, memberitahukan kepada semua orang tentang “DAN” ketiganya”.
Guru melanjutkan, “Ketika A Man of Tao menerima “DAN” pertamanya, dia akan menundukan kepalanya sebagai tanda berterima kasih dan bersyukur. Ketika menerima “DAN” keduanya,  dia akan menundukan kepalanya hingga kebahu. Ketika menerima “DAN” ketiganya, dia akan menundukan kepalanya hingga pinggang dan diam-diam dia berjalan disamping dinding sehingga orang tidak dapat melihat dia.
Gichin Funakoshi adalah “A Man of Tao”. Dia tidak memiliki keistimewaan apapun dalam sebuah kompetisi, catatan kemenangan, atau kejuaraan. Keistimewaannya terletak pada kepribadiannya yang sempurna. Dia yakin kepatuhan dan penghormatan adalah hal yang harus dilakukan seseorang terhadap yang lain. Dia adalah maestro dari maestro.
Gichin Funakoshi meninggal  di tahun 1957, pada usianya yang ke 89 tahun, setelah kerendahan hatinya membuat kontribusi terbesar dalam Karate-do.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar